Jampe Betawi

Jampe Betawi

-Yahya Andi Saputra-

Urung-urung tempolong kapur

Urung tumbuan

Jadi tempolong kapur

Jadi tumbuan

Urung tempolong kapur

Urung tumbuan

Itu contoh tuturan jampe atau mantera yang ada di masyarakat Betawi. Jampe itu dibacakan oleh dukun atawa bebongkot untuk menyembuhkan sakit tumbuan. Penyakit tumbuan ini mengenal beberapa jenis, antara lain gondongan atau bengok (beguk atau gondok), dampa, brahma, giduh, sekelan, sresel, bisul, dan bintit. Varian ini tidak mutlak karena penyebabnya berbeda. Prinsipnya, dipukul rata menjadi rumpun yang sama. Tapi penyakit ini dapat disebabkan faktor ilmiah dan nonilmiah. Faktor ilmiah karena virus, jamur,  dan bakteri, Faktor nonilmiah berupa ketemplokan, kiriman, teluh, pelet, dan lain yang sejenisnya.

Orang Betawi mendefinisikan sakit atau penyakit dengan kata enggak enak badan, meluang, gering, dan mangkig. Ini menggambarkan jenis penyakit ringan. Untuk penyakit berat (terutama bagi mereka yang berdosa, kualat, duaraka) disebut kedalon dan seksaan bale. Untuk penyakit yang tidak diketahui sebab-musababnya disebut bikinan atau kiriman.

Dalam tradisi lisan Betawi, semua jenis penyakit, ringan, berat, dan kiriman dapat diikhtiarkan penyembuhannya dengan jampe. Penyembuhan dengan jampe ini harus melalui kemahiran dukun yang memenuhi persyaratan. Sebuah tuturan jampe yang difungsikan untuk penyembuhan, tidak berdaya jika tanpa pelengkap atau pendukung utamanya.


aneka makanan untuk pelengkap jampe-Yahya Andi Saputra-

Dalam masyarakat Betawi, jampe adalah bacaan yang sering atau biasanya dibaca dengan cara nggrendeng atau solilokui alias bersenandung. Namun bacaan itu bersifat sangat pribadi karena hanya orang-orang tertentu (dukun atau ‘orang pinter’), yang memiliki kemampuan membacanya. Apalagi jika jampe dianggap sebagai pusaka yang diwariskan leluhur dan harus dijaga serta dirawat. Bagi dukun, jampe adalah pemake atau media yang digunakan untuk menghubungkan alam kasar (manusia) dengan alam alus (Penguasa alam Semesta). Artinya menciptakan relasi mikro dan makrokosmos.

Untuk menajamkan power dan efektivitas, prosesi pembacaan atau pengamalan jampe membutuhkan media bantu dan lelaku khusus, tertib, ajeg, dan disiplin. Prosesi ini sudah berbeda antara dahulu yang praislam dengan sekarang. Prosesi sekarang misalnya puasa 40 hari termasuk mutih. Tetirah atau ziarah ke maam keramat waliyullah. Setelah sembahyang Magrib dan Subuh atau melazimkan sembahyang malam, mengamalkan wirid sesuai dengan yang diniatkan. Wirid yang dilafalkan misalnya Surat Al-Fatihah tujuh kali ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW; membaca Surat Al-Fatihah tujuh kali ditujukan kepada Syeh Abdul Qodir Jelani; membaca ya sayyidi ya rasulullah selama 30 menit dengan khusyuk; membaca kalimah toyyibah lailaha illallah sebanyak 3000 kali. Dengan amalan ini, hati akan terang, pintu ilmu gaib akan terbuka, dan mudah menguasai bermacam ilmu gaib.


-Yahya Andi Saputra-

Begitu beragamnya jenis penyakit, begitu pula dengan jenis jampe. Orang yang kadang-kadang mempermainkan jampe untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya, dapat berdampak negative bagi dirinya. Biasanya orang itu terkena dampak negative disebut ketulah atau mendapet. Ada pula orang yang benar-benar serius ingin berprofesi sebagai dukun, tetapi mental spiritualnya tidak mendukung, akan gagal. Orang seperti ini disebut enggak kuat bawa ilmu. Perilakunya tidak normal. Tahap yang paling kritis bagi orang ini, menjadi gila.

Secara umum, mengacu kepada cultural sytem (sistim nilai budaya) yang telah digagas oleh leluhur masyarakat Betawi, saya membagi jampe menjadi empat ragam utama dikaitkan dengan fungsi dan kepraktisannya. Pertama jampe koncian, yaitu jejampean yang digunakan untuk menjaga dan melindungi diri dari berbagai gangguan yang nyata maupun yang gaib. Kedua jampe setiar atau  jalan usaha, yaitu jampe yang dimanfaatkan untuk keperluan berusaha dan berniaga di dalam segala lapangan serta profesi. Ketiga jampe beborehan, yaitu jampe yang difungsikan untuk pengobatan dan penyembuhan berbagai jenis penyakit. Keempat jempe kemaslahatan. Jampe kemaslahatan termasuk di dalamnya hal-hal praktis yang tidak masuk ke dalam kelompok satu, dua, tiga. Misalnya jampe mikat (menangkap) burung atau memancing ikan dan sebagainya.

Tentu empat kelas jampe yang dikemukakan dan berlaku pada masyarakat Betawi bukan suatu kemutlakan. Pengkelasan itu hanya untuk mempermudah penempatan dan pemanfaatannya dilihat dari sisi penggunaan di masyarakat. Selain tentu untuk membantu kaum akademisi dalam upaya analisis isi yang terkandung di dalamnya.

Siapakah yang menciptakan jampe? Dapat dipastikan jampe diciptakan oleh para leluhur yang memiliki kemampuan membaca gejala alam. Leluhur atau bebongkot itu tidak terlacak namanya, namun dapat diduga profesinya, seperti resi, kyai, pujangga, dan orang pinter lainnya. Profesi seperti itu jelas disandangkan kepada orang yang ahli dalam menciptakan atau merangkai teks sastra dan tata bahasa, ahli memainkan kata-kata, mahir dalam seni suara, pandai mengarang dan bercerita, memiliki pengetahuan mengenai hal yang ‘kasar’ dan ‘halus’, arif bijaksana, dan memiliki daya ingatan kuat dan tajam.

Apakah jampe dan dukun masih eksis dan ditransmisi saat ini? Tentu saja masih. Di beberapa kampung yang masih melazimkan ritus sedekah bumi atau baritan, seperti di Pondok Rangon,Kampung Setu, Setu Babakan Srengseng Sawah, Marunda Pulo, Muara Tawar, masih melengkapinya dengan jampe dan dukun (juru kunci). Lapis dukun yang lebih muda sudah berani tampil di hadapan publik. Meski penampilan mereka lebih memperlihatkan nilai pariwisatanya, masih ada baiknya.

********

 

Yahya Andi Saputra

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta. Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Visiting Research Fellow, Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), Kyoto, Jepang. Menulis buku antara lain: Jantuk : Pertumbuhan dan Perkembangan (2017), Betawi Megapolitan : Merawat Jakarta Palang Puntu Indonesia (2021).

Sumber: