Kiprah Ulama Betawi di Tanah Suci

Kiprah Ulama Betawi di Tanah Suci

--

Orang Betawi identik dengan aksi yang kocak, egaliter dan bicara apa adanya. Stereotype yang selalu melekat itu terkadang membuat salah persepsi sebagai masyarakat yang tak ‘punya isi’. Padahal, sejak abad ke-18, kiprah intelektual Betawi diakui di Tanah Suci dan memiliki pengaruh besar dalam membangun Indonesia.

Seperti dilakukan ulama Betawi yang mempunyai peran besar menelurkan ulama-ulama Nusantara. Salahsatunya adalah Syekh Junaid Al Batawi yang merupakan Guru dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Syekh al-Miinangkabawi ini kemudian dikenal sebagai guru KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari sewaktu belajar di Makkah.

Lantas bagaimana pandangan masyarakat saat ini melihat warga Betawi? Seperti dituturkan M. Uttiek Panji Astuti, Jurnalis sekaligus muslim traveller kelahiran Solo, Jawa Tengah, yang melihat bagaimana orang Betawi mempunyai peran menakjubkan di Tanah Suci . Berikut penuturannya dalam laman media sosialnya terhadap sosok Manusia Betawi:

“Saya selalu terkesan dengan kemurahan hati orang Betawi. Sepanjang ingatan saya, rasanya belum pernah bertemu dengan orang Betawi yang pelit.

Sahabat saya Rizka S. Aji dan istrinya @Bintan Humeira adalah contoh Betawi asli yang sangat murah hati. Berkali-kali saya dan Lambang mendapat kiriman buah hasil panen dari “kebonnya”.

“Kebonnya” ini menghasilnya buah lokal kualitas eksport. Terkadang kantong buah yang dikirim via ojek daring itu bertuliskan Total Buah Segar, All Fresh dan toko buah ternama lainnya.

Saya selalu tersenyum kalau menerima pesan WA-nya, “Gw kirim panen hasil kebon yak.” Begitulah cara orang Betawi menjalin silaturahmi. Tentu saja itu bukan panen dari hasil kebon sendiri, melainkan belanja dari toko buah ternama itu.

Betawi identik dengan Islam. Dalam penelitiannya tentang Islam di Hindia Belanda, orientalis Christiaan Snouck Hurgronje menyimpulkan tak ada yang lebih religius dari orang Betawi di negeri ini.

Sejak kecil, anak-anak Betawi sudah dididik untuk menimba ilmu pada ulama. Ada tradisi khatam Alqur’an untuk anak-anak yang sudah menyelesaikan membaca Alqur’an. Mereka akan diupacarai dan diarak keliling kampung.

Begitupun tradisi pengantin sunat. Bagi anak laki-laki, khitan atau sunat merupakan bagian dari syariat.

Buya Hamka sewaktu di Makkah dalam catatannya menyebutkan banyaknya orang Betawi yang menuntut ilmu di Tanah Suci.

Bukan sekadar belajar, namun mereka juga beranak pinak dan menjadi kelompok kelas menengah yang berpengaruh. Bahkan disebutkan dalam perjanjian antara Syarif Ali (putera Syarif Husein), penguasa Mekah, dengan Raja Ibnu Sa’ud tahun 1925, ada kelompok yang diberi kebebasan dan perlindungan khusus.

Di antaranya ada beberapa ulama asal Betawi yang dkenali dari nama keluarganya, seperti Syekh Abdullah Al Batawi, Syekh Ahmad Al Batawi, dan Syekh Sa’id Al Batawi.

Keturunan ulama-ulama asal Betawi ini di kemudian hari masih dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabia, baik yang tinggal di Makkah maupun Jeddah.

Ridwan Saidi dalam bukunya “Peran Ulama Betawi dari Abad ke-14 Sampai Orde Baru” menyebutkan nama Syekh Junaid Al Batawi yang menjadi imam Masjidil Haram dan guru para guru seantero dunia Islam sunni dan mazhab Syafi`i sepanjang abad ke-18 dan 19.

Murid-muridnya yang terkenal di antaranya Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi pengarang “Tafsir Al-Munir” dan 37 kitab lainnya yang masih diajarkan di berbagai pesantren hingga ke luar negeri.

Juga Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, imam, khatib dan guru besar di Masjid al-Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 serta pengarang banyak kitab.

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi ini kemudian dikenal sebagai guru KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari sewaktu belajar di Makkah.
Kesadaran untuk pergi haji ke Tanah Suci bagi orang Betawi tak mengenal resesi. Bahkan saat dunia sedang berada pada masa sulit pun, orang Betawi tetap pergi haji.

Tercatat pada Perang Dunia II, banyak jamaah haji asal Betawi yang kesulitan kembali ke Tanah Air hingga akhirnya memilih menetap di Tanah Suci.

Sampai sekarang komunitas orang Betawi ini masih bisa dijumpai dengan nama keluarga Al Batawi. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Arab, namun sebagian masih bisa berbicara dalam bahasa Indonesia.

Begitu lekatnya budaya Betawi dengan Islam hingga ada satu pantun Betawi yang sangat terkenal yang sebenarnya merupakan implementasi dari hadist Ibunda Aisyah RA:
“Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah SAW yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah RA dahulu menikahkan para wanita di bulan Syawal.” [HR. Muslim].

Tahu kan, pantunnya? Eh, ujan gerimis aje// Ikan bawal diasinin// Eh, jangan menangis aje// Bulan Syawal nanti dikawinin.

Jakarta, 16/2/2021
Uttiek
Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang

 

Sumber: